Apresiasi Seni

Gampang dipelajari Tapi Sulit Dilaksanakan

Dalam dunia pendidikan, khususnya pendidikan seni, istilah apresiasi seni tentu sudah tidak asing lagi. Apresiasi seni merupakan kegiatan seni yang mengembangkan tingkat apresiasi siswa pada kesenian. Secara konseptual kegiatan ini menumbuhkembangkan potensi siswa dalam kepekaan estetik, wawasan, kreatifitas serta mengembangkan potensi pribadi. Khususnya kepercayaan diri, sikap, dan pengambilan keputusan.


Perkembangan potensi ini tidak bersifat parsial, tetapi menyeluruh. Seorang anak yang mendapatkan apresiasi seni cukup, ia akan menjadi anak yang dapat mengisi waktunya dengan kegiatan-kegiatan yang kreatif, inovatif dan  bervariatif. Ia gampang  diajak ngomong tentang kesenian, dan selalu bergairah untuk diajak berkegiatan, walaupun itu sesuatu yang baru dikenalnya. Ia mudah untuk beradaptasi dengan lingkungan yang baru.  


Persoalannya, bagaimana “menjabarkan” dari kurikulum sehingga menjadi kegiatan yang operasional? Contoh sederhana adalah kegiatan apresiasi seni rupa. Kegiatan ini sering macet, seiring dengan tingkat keperdulian guru dalam mengemas kegiatan menjadi bernuansa apresiatif. Faktanya guru lebih banyak memberi nilai tugas siswa setelah itu  “menyimpan “ di almari atau mengembalikan setelah dinilai oleh guru. Maka selesailah kegiatan itu setelah guru memberi nilai. Pameran kelas, “memperbincangkan” dengan teman-teman sekelasnya  adalah hal yang jarang dilakukan. Apalagi mengajak siswa menonton Pameran Seni Rupa di luar sekolah. Memang ada juga yang melakukan, tetapi dengan cara yang “aneh”, yaitu siswa ditugasi datang ke ruang pameran untuk mengidentifikasi karya-karya yang dipamerkan. Mereka disuruh menulis judul, aliran yang dianut pelukisnya, ukuran lukisan. Lalu laporan hasil pengamatan itu dikumpulkan. Celakanya banyak anak mengutip laporan temannya tanpa datang ke ruang pamer. Gurunya bahkan tak pernah datang ke pameran. Kegiatan seperti ini nyaris tanpa “melibatkan” guru dalam memotivasi siswa, membuka wawasan, dan melatih bagaimana menghayati sebuah karya. 

Inikah apresiasi itu ? Barangkali  itu semacam contoh yang terjadi lapangan. “Jer basuki mowo beyo”, adalah kalimat sederhana yang menjawab semua persoalan. Bagaimana sebuah kegiatan berjalan tanpa dukungan dana ? Guru sudah sejak dulu “nomboki” kalau kegiatan itu melibatkan dirinya. Apakah itu sekedar membelikan permen ketika murid-muridnya melihat pertandingan antar sekolah dsb.


Kegiatan apresiasi seni selain butuh “dana pendamping”, juga butuh kegairahan kerja dari guru itu sendiri. Karena kegiatan apresiasi yang bernuansa afektif itu tidak dapat dilihat hasilnya dalam waktu yang singkat. Kegiatan itu butuh waktu yang lama dan dikerjakan secara berulang-ulang. Penggunaan media sangat dipujikan dalam kegiatan ini, baik itu media dengan menggunakan tehnologi informasi maupun media tradisional. Efektifitas teknologi  informasi memang tak dapat disangkal lagi. Penggunaan media audio visual, tentu amat membantu dalam proses belajar-megajar. Bayangkan, detail-detail candi borobudur dapat disajikan dengan cermat dan rinci tanpa siswa harus datang sendiri. Demikian pula keindahan  arsitektural bangunan di Bali, Runah Toraja dan keindahan alam di wilayah saentero nusantara ini.


Sebuah sekolah yang sering mengadakan latihan bagi siswanya menabuh gamelan dan njoged  di bangsal sekolah, akan memberi nuansa apresiatif tidak hanya pada anak itu sendiri, tetapi juga terhadap lingkungannnya. Bukankah anak-anak yang belum sekolah dan  berada disekitar sekolah itu juga sangat tertarik untuk datang dan bersekolah?  Kegiatan itu juga akan sedikit “meredam” hingar bingar musik yang sering dijumpai di tayangan televisi. Kalau tidak tersedia gamelan? Latihan tari tetap bisa berjalan dengan menggunakan tape recoder atau VCD.


Sebuah “sanggar” senirupa tentu jadi dambaan para guru senirupa. Karena di tempat itu anak bisa berkreasi sebebas-bebasnya tanpa takut mengganggu kebersihan kelas. Akankah terlaksana ?  Sarana dan prasarana seharusnya disediakan secara seimbang. Kalau sekolah mampu membangun laboratorium bahasa, lab. komputer, kapan giliran kegiatan seni?


Seandainya keperdulian ini tidak hanya ditanggung oleh sekolah sebagai institusi yang bertanggung jawab terhadap kelangsungan proses belajar mengajar siswa, tetapi juga  pihak-pihak lain dengan kegiatan work shop untuk anak-anak oleh seniman atau perguruan tinggi seni misalnya work shop tari, seni grafis,  olah vokal dan lain-lain, tentu akan menyemarakkan dunia seni di sekolah. Akankah?

 

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url