ATRIBUSI DALAM PSIKOLOGI KOMUNIKASI

atribusi psikologi komunikasi 
Atribusi adalah proses menyimpulkan motif, maksud, dan karakteristik orang lain dengan melihat pada perilakunya yang tampak 

Mengapa Manusia Melakukan Atribusi?

Atribusi - Manusia memiliki kecenderungan memberikan atribusi disebabkan oleh manusia berusaha menjelaskan segala sesuatu yang ada dibalik perilaku orang lain. Seseorang memiliki atribusi tentang orang lain sesuai dengan skema yang ada dalam pikirannya. 

Jika seseorang berperilaku sesuai dan konsisten dengan skema itu, maka kita percaya bahwa hal itu terjadi karena sesuatu dalam dirinya (dispositionally caused). Akan tetapi, saat dia sikapnya berbeda, kita akan percaya bahwa itu terjadi karena situasi yang mendukungnya (situasionally caused).

Naive Psychology

Fritz Heider seorang tokoh psikologi atribusi, mengemukakan bahwa dasar mencari penjelasan mengenai perilaku orang adalah akal sehat (commonsense). Hal ini disebut sebagai Naive Psychology.

Secara Akal Sehat, Ada Dua Golongan Yang Menjelaskan Suatu Perilaku, Yaitu:

1. Atribusi Internal

Hal-hal yang berasal dari orang yang bersangkutan seperti suasana hati, kepribadian, kemampuan, kondisi keuangan, atau keinginan.

2. Atribusi Ekstenal

Hal-hal yang berasal dari lingkungan atau luar diri orang yang bersangkutan seperti tekanan dari luar, ancaman, keadaan cuaca, kondisi perekonomian atau pun pengaruh lingkungan.

Contohnya:

Seorang pelajar memperoleh nilai jelek. Penyebabnya dapat saja karena pelajar tersebut malas, tidak pernah belajar atau bodoh (atribusi internal) atau karena pelajar tersebut sedang punya masalah di rumahnya, mengalami kesulitan ekonomi atau cara mengajar guru yang kurang menarik baginya (atribusi eksternal).

Atribusi internal dan eksternal dapat terjadi sekaligus, namun menurut Heider orang cenderung memilih salah satu saja. 

Misalnya, kepada anak yang memperoleh nilai bagus, orang tua akan berkata "Anak Ayah memang pandai"  Akan tetapi, ketika anak itu mendapatkan nilai jelek, orang tuanya akan berkata "...memang pelajaran yang didapat terlalu sulit untuk anak saya".

Teori-Teori Atribusi

1. Correspondent Inference Theory

Teori ini berasumsi kepada "perilaku orang merupakan sumber informasi yang kaya". Dengan demikian, jika kita mengamati perilaku orang lain dengan cermat, kita dapat mengambil beberapa kesimpulan perilaku seseorang. 

Misalnya, seorang laki-laki yang sering menghubungi teman wanitanya, yang kemudian dapat disimpulkan bahwa laki-laki tersebut memiliki perhatian spesial kepada sang wanita. Orang yang berwajah murung kita simpulkan sedang sedih.

2. Causal Analysis Theory

Dasar dari teori ini adalah commonsense (akal sehat) dan berfokus pada atribusi internal dan eksternal.  

Menurut Kelley, para pengamat perilaku orang lain bertindak seperti ilmuan yang naif, mengumpulkan berbagai informasi tentang perilaku dan menganalisis polanya supaya bisa dimengerti. 

Dari kesimpulan yang diperoleh, pengamat menentukan atribusi apa yang harus dilakukan. Teori ini berasumsi suatu perilaku orang bisa menimbulkan perilaku lain sebagai sebab akibatnya. 

Ada beberapa hal yang membuat seseorang mencari penyebab terjadinya sesuatu antara lain kejadian yang tidak terduga, kejadian negatif, kejadian ekstrem, sikap ketergantungan, dan mempertahankan skema.

Teori ini juga menyebutkan ada tiga hal yang perlu diperhatikan untuk menetapkan apakah suatu perilaku beratribusi internal dan eksternal, yaitu:

  1. Konsensus apakah perilaku cenderung dilakukan oleh semua orang pada situasi yang sama. Makin banyak yang melakukannya, makin t inggi konsensus; makin sedikit yang melakukannya, makin rendah konsensus
  2. Konsistensi apakah pelaku yang bersangkutan cenderung melakukan perilaku yang sama di masa lalu dan situasi yang berbeda-beda? Kalau ya, maka konsistensinya tinggi, jika tidak maka konsistensinya rendah.
  3. Distingsi/kekhasan apakah pelaku yang bersangkutan cenderung melakukan perilaku yang sama di masa lalu dan situasi yang berbeda-beda? Kalau ya, maka dist ingsinya t inggi; kalau t idak, maka dist ingsinya rendah.

Bias-Bias Dalam Atribusi

Dalam menganalisis suatu perilaku tertentu, kita pasti akan menemukan beberapa bias atau kesalahan sebagai bentuk lain dari kognisi sosial. 

Ada dua Jenis Bias Atribusi, Yaitu:

1. Bias Kognitif (Cognitive Biases)

Teori atribusi mengatakan bahwa manusia mengolah informasi dengan cara yang rasional sehingga bisa memperoleh informasi yang benar -benar objekt if dan kesimpulan yang diambil juga bersifat objektif. 

Ada beberapa aspek yang diperhatikan dalam bias kognitif ini, yaitu:

a. Salience (Menonjol)

Salience merupakan suatu hal yang paling terlihat, paling diketahui dan menonjol dalam kasus tertentu. Salience membuat kita melihat suatu stimuli sebagai hal yang paling berpengaruh dalam membentuk persepsi. 

Sesuatu yang bergerak, berwarna, atau baru atau apa pun yang paling sering bergerak atau berubah dalam suatu lingkungan akan memberikan perhat ian yang besar.

b. Memberikan Atribusi Lebih pada Disposisi (Over-attributing to dispositions)

Salah satu konsekuensi dari bias ini adalah kita akan lebih sering menjelaskan perilaku seseorang melalui disposisinya. 

Disposisi itu kemudian dianggap sebagai kepribadian dan perilaku secara umum, sementara situasi di sekitarnya tidak kita perhat ikan. 

Memberikan atribusi lebih pada disposisi dan tidak menghiraukan situasi yang ada merupakan hal yang biasa terjadi yang disebut sebagai kesalahan atribusi mendasar (the fundamental attribution error).

c. Pelaku vs Pengamat (Actors vs Observers)

Salah satu hal dalam kesalahan atribusi yang mendasar adalah terletak pada pengamat dan bukan pelakunya. Para pelaku biasanya justru sering terlalu menekankan pada peran faktor eksternal. 

Misalnya, sudah biasa bagi orang tua untuk menerapkan beberapa peraturan tertentu yang harus ditaati pada anak-anaknya. Mereka hanya boleh bermain di akhir pekan, mereka harus selesai bermain game pada jam tertentu, mereka hanya boleh menonton televisi setelah mengerjakan PR, dan sebagainya. 

Bagaimana sebenarnya peraturan ini diartikan? Anak-anak di sini berlaku sebagai pengamat, sering melihat peraturan itu sebagai penyebab disposisi (dispositionally caused). Mereka menganggap orang tua sebagai orang yang kejam, otoriter, tidak mau mengerti, kuno, tua dan sebagainya. 

Sementara itu para aktor, yaitu orang tua biasanya akan menjelaskan perilaku mereka dari sisi situasionalnya. Mereka hanya berusaha melakukan hal yang terbaik untuk anak-anak.

2. Bias Motivasi (Motivational Biases)

Bias ini muncul dari usaha yang dilakukan manusia untuk memenuhi kepentingan dan motivasi mereka. Bias kognitif timbul dari anggapan bahwa seolah-olah manusia hanya memiliki satu kebutuhan, yaitu kebutuhan untuk memperoleh pemahaman yang jelas dan menyeluruh tentang lingkungannya. 

Sementara dalam kenyataan, manusia memiliki berbagai kebutuhan lain seperti kasih sayang, percaya diri, harga diri, gengsi, kebutuhan materi, yang sering tidak diperhatikan. Padahal kebutuhan-kebutuhan tersebut ternyata juga memiliki peran yang penting dalam menimbulkan kesalahan atribusi. 

Bias motivasi yang paling sering muncul adalah apa yang disebut pengutamaan diri sendiri (self-serving bias). Istilah ini menjelaskan tentang atribusi yang menekankan pada ego atau mempertahankan kepercayaan diri sendiri. Setiap orang cenderung untuk membenarkan diri dan menyalahkan orang lain.

Atribusi Tentang Diri (Self)

Atribusi tidak hanya tentang orang lain. Atribusi juga dapat dilakukan pada diri sendiri. Salah satu hal yang menarik dalam teori atribusi adalah orang memiliki persepsi berdasarkan kondisi internalnya sendiri, sama seperti saat mereka memiliki persepsi tentang kondisi orang lain. 

Sama seperti atribusi tentang orang lain, dalam atribusi pada diri sendiri kita juga mencari sebab akibat suatu tindakan yang kita lakukan. Hal ini berhubungan dengan atribusi disposisi dan situasional yang ada. Saat kita bisa mengenal dan melakukan suatu hal, kita bisa dengan mudah menyebutnya sebagai tindakan yang didasarkan pada atribusi eksternal atau situasional. 

Sebaliknya, saat faktor eksternal itu tidak ada, berarti atribusi disposisi (internal) bisa lebih menjelaskan perilaku kita. Pendekatan ini memberikan pemahaman tentang persepsi kita mengenai sikap, motivasi dan emosi.

1. Sikap

Penelitian menunjukkan bahwa seseorang memikirkan sikap mereka sendiri melalui introspeksi. Padahal, manusia memperoleh informasi yang amat minim dan ambigu tentang kondisi internalnya (dalam diri), sama seperti saat kita berusaha memperoleh informasi tentang diri orang lain. 

Oleh karenanya, yang dilakukan manusia adalah mencoba menilai sikap kita sendiri dengan mengamati perilaku yang kita tampilkan.

2. Motivasi

Manusia cenderung mau melakukan sesuatu dengan ganjaran atau imbalan tinggi. Ini berarti, manusia memiliki atribusi eksternal dalam melakukan suatu hal. 

Sementara melakukan hal yang sama dengan ganjaran atau imbalan yang sedikit atau lebih rendah akan membuat manusia memiliki atribusi intenal.

3. Emosi

Para peneliti mengatakan bahwa pada dasarnya manusia mengenal apa yang dirasakan dengan cara mempertimbangkan atau memahami keadaan psikologi, mental, dan berbagai dorongan eksternal yang menyebabkan hal itu terjadi.

Penelitian Stanley Schachter pada tahun 1962 tentang persepsi diri dengan pendekatan emosional menghasilkan persepsi dari emosi kita tergantung dari:
  • Derajat rangsangan psikologis yang kita alami
  • Label kognitif yang kita gunakan, seperti marah atau senang.

Sumber

Försterling, Friedrich.2001.Attribution: An Introduction to Theories, Research and Applications.UK:Psychology Press

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url